Friday 25 October 2013

200 Kata

07:37 0 Comments
Dari milyaran manusia di dunia, hanya ribuan orang yang pernah berinteraksi denganku. Dari ribuan orang itu, hanya seratus yang memiliki kenangan menarik. Dari seratus orang, hanya satu orang yang dengannya setiap kenangan selalu kurindukan. Kamu.

Kamu, yang menemaniku sejak aku hanya satu sel di rahim Emak. Kamu, yang menemaniku bersama-sama melihat dunia pertama kali. Kamu, yang menjadikan kenangan masa kecil penuh canda dan gelak tawa. Kamu, yang membuat sesengit apapun perdebatan—seperti apakah mahasiswi hukum itu lebih keren dari mahasiswi pertanian—menjadi layak dikenang.

Kamu dan segala kenangan itu semakin kurindukan saat kita mulai berpisah beda kota untuk menuntut ilmu yang berbeda. Kamu dan segala kenangan itu menusukku tepat di ulu hati, setiap hari, dengan rasa rindu tak terperikan sejak kamu menghilang pada suatu hari di Mei 98. Kata orang-orang kamu diculik, Emak dan Bapak panik. Segala informasi terakhir tentangmu kutelisik, tapi tak ada kejelasan.

Kini, setelah kita bersama-sama lagi di tempat ini dan mendengar langsung darimu bagaimana saat itu kamu disiksa hingga meregang nyawa hanya karena mencoba melahirkan reformasi, benakku penuh tanda tanya, apakah mereka yang menyiksamu adalah manusia tanpa kenangan dengan orang yang selalu mereka rindukan? Tak pernah ada jawaban pasti, hanya kulihat dari sini, Indonesia semakin mendung.

---
Sebuah cerpen yang saya ringkas menjadi 200 kata :)

Saturday 12 October 2013

Gap

04:41 0 Comments
Perjalanan Magelang - Ngadirejo pagi tadi cukup melelahkan. Setelah semalaman antri di pool Eka dan baru mendapat seat jam 12, duduk selama 9 jam kemudian berdiri selama 100 menit di bus yang penuh sesak itu jelas melelahkan. Namun demi bertemu keluarga dan ponakan tersayang, saya kuatkan diri dan ingat niat awal. Menghabiskan waktu idul adha bersama kelurga.

Sewaktu sampai di terminal lama Temanggung, ada dua penumpang naik. Seorang pelajar dan ibunya, setelah berbelanja laptop. (Dari pengamatan saya, soalnya si anak bawa kardus laptop dan tas laptop baru). Mereka berdiri tepat di belakang saya, dan mau tak mau saya pun mendengar obrolan mereka.

Si anak, yang nampaknya pelajar SMA (atau SMK?) bercerita soal banyak hal ke Ibunya. Si Ibu juga bertanya dengan penuh antusias. Namun, saya rasa ada gap dalam percakapan mereka.

Ibu: Jadi kamu ngga libur habis semesteran?
Anak: Ya ngga lah bu, ini kan midsemester. bukan semester.

Dari percakapan di atas, si anak menyampaikan dengan gaya ih-ibu-gimana-sih-namanya-midsemester-mana-ada-libur. Si Ibu yang nampaknya waktu jaman bersekolah dulu belum mengenal istilah midsemester, manggut-manggut saja.

Percakapan berlanjut waktu si anak bercerita tentang ulangan di kelas yang mudah karena soal-soalnya sudah pernah diajukan.

Ibu: Oh berarti itu tinggal fotokopi aja?
Anak: Ngga lah, tinggal copy paste aja.

Si Ibu, kembali terdiam dan manggut-manggut saja. Dari pengamatan saya, si Ibu nampaknya sama seperti umumnya ibu-ibu di daerah temanggung. Ibu rumah tangga yang membantu suaminya bekerja di sawah, tidak mengenyam pendidikan tinggi ( tingkat pendidikan di Temanggung memang masih rendah). Hal ini saya simpulkan dari percakapan Anak-Ibu itu yang ketika sudah mencapai gap, obrolan terhenti.

Anak: Jadi waktu ulangan kemarin itu ada yang bawa tablet gitu, curang banget coba masa buka google.
Ibu: .....

Untuk kita, yang telah terbiasa dengan teknologi, merasa tak ada yang asing dengan cerita-cerita si anak. Namun, bagi Ibu yang tak pernah bersentuhan dengan teknologi, tentu dunia si anak ini menjadi dunia asing yang penuh dengan istilah-istilah asing-asing.
Kita sudah tak asing lagi dengan istilah google, tapi untuk Ibu yang tak pernah mengecap internet, tentu Google terasa asing sekali. Yang saya sedihkan adalah cara si anak menyampaikan ke ibunya, seolah ibunya paham dan kalau si ibu ngga paham ya salah sendiri.

Gambar diambil di sini


Mendengar percakapan-percakapan itu, saya menilik ke dalam diri saya sendiri dan juga bagaimana saya berinteraksi dengan Ibu soal teknologi. Dan juga menerawang ke depan, bagaimana kelak saya dan anak saya berinteraksi dengan teknologi.

Tak bisa dipungkiri, perbedaan jaman melahirkan perbedaan teknologi. Apalagi dengan perkembangan teknologi yang tak hanya linear, tapi quadratic. Berkembang pesat. Mungkin kelak, laptop, modem, google adalah hal usang untuk jaman calon anak saya.

Semoga gap itu tidak menjadikan saya merasa lebih dari orang tua, dan semoga kelak gap itu tidak memisahkan saya dan anak-anak saya kelak di jaman mereka :)